Nenek 70 Tahun Tinggal Beratap Triplek dan Kardus

Written By Unknown on Jumat, 19 Oktober 2012 | 11.26

Tribun Lampung - Jumat, 19 Oktober 2012 10:25 WIB

TRIBUNLAMPUNG.co.id - Bagi kebanyakan orang, masa tua adalah bagian dari perjalanan hidup yang mesti dinikmati dengan ketenangan.

Tenang dalam arti makan dan minum tercukupi. Demikian pula tempat yang ditinggali kondisinya nyaman atau paling tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal.

Namun tidak demikian bagi mbah Jumirah (70). Sudah hampir setahun ini, ia dan Iyah (22), anak perempuannya menempati gubuk reot terbuat dari kayu yang hanya berdinding dan beratapkan triplek dan kardus.

Gubuk reot berukuran sekitar 5x3 meter yang jauh dari kesan layak untuk sebuah tempat tinggal itu,  berdiri dengan menumpang lahan kosong milik orang yang berlokasi di Kampung Tunggal Warga, Kecamatan Banjar Agung, Tulangbawang.
Gubuk reot yang ditempati Jumirah berjarak sekitar 10 meter dari jalan Kampung Tunggal warga.

Kondisi kehidupan nenek renta itu memang cukup memprihatinkan. Meski hidup dengan kondissi seadanya, namun senyum cerah masih tetap terpancar dari wajah lusuhnya.

Mengenakan baju kebaya khas jawa warna biru lengkap dengan balutan sarung di pinggulnya, dengan ramah Jumirah menyambut kedatangan Tribunlampung.co.id yang menyambangi gubuk reotnya, Kamis (18/10/12) siang."Sangkeng pundi le," ucap Jumirah, dalam bahasa jawa halus.

Jumirah yang saat itu duduk di atas amben tempat ia biasa tidur, langsung menghampiri dan menyalami Tribun sembari menceracau tak jelas menggunakan bahasa jawa halus.

Kondisi kumuh nampak jelas terlihat ketika Tribun memandangi satu persatu setiap sisi gubuk milik Jumirah yang hanya dibalut dengan triplek dan kardus bekas.

Tidak nampak kursi maupun lemari di dalam gubuk yang menyatu, antara tempat tidur maupun dapur yang juga dijadikan tempat makan.

Yang terlihat hanya kain dan kasur lusuh dan beberapa peralatan memasak. Didalam gubuk itu juga sama sekali tidak ada jendela yang menambah kesan pengap ketika berada didalamnya.

Merasa kedatangan tamu, Jumirah lantas memanggil Iyah anak perempuannya yang ketika itu tengah memetik bayam di kebun tak jauh dari gubuk reotnya.

Tak lama berselang, Iyah kemudian datang menghampiri. Sembari merajut bayam yang ia bawa dari kebun, Iyah pun lantas membuka cerita yang mengisahkan kehidupannya tinggal bersama ibunda terincta di dalam gubuk reot.

"Kami tinggal disini sudah hampir satu tahun," ucap Iyah.

Menurut Iyah, sebelum menempati gubuk reot itu, ia dan ibunya sebelumnya tinggal menempati rumah papan yang berada persis di depan gubuk.

"Rumah itu punya pak Sapta dan Ahun, mereka berdua yang punya lahan ini," ucap Iyah.

Namun, karena alasan akan dibangun gudang, Ahun lantas meminta Iyah dan Jumirah untuk pindah dari rumah papan yang sudah sepuluh tahun mereka tempati.

Atas perintah Ahun, rumah papan semi permanen itu lantas dibongkar.

"Yang nyuruh bongkar  pak Ahun. Kalau pak Sapta nyuruh kami tetap nempatin. Karena rumah sudah terlanjur dibongkar, kami berdua lalu membuat gubuk ini seadanya menggunakan kayu dan triplek bekas," tutur Iyah.

Merasa iba atas kondisi Jumirah dan Iyah, beberapa kerabat dan keluarga beberapa kali meminta ibu dan anak itu pindah ke tempat yang layak.

"Tapi ibu nggak mau pindah, meskipun sudah dibujuk tapi masih keukeh untuk menetap di gubuk ini," ucap Iyah lirih.

Merasa tidak tega atas kondisi ibunya jika ditinggal sendiri, Iyah lalu memutuskan untuk tetap menetap bersama sang bunda di dalam gubuk reot itu.
Dengan penghasilan Rp 25 ribu per hari, Iyah pun rela menjadi buruh upahan di kebun warga sekitar.

Itu dilakukan guna mengais rezeki untuk sekedar makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Upahan diladang orang mas, kadang dapat upah Rp 20 ribu, kadang Rp 25 ribu per hari. Nggaak nentu mas," imbuhnya.

Tinggal di gubuk reot bukan tidak ada resiko. Iyah menuturkan, pernah suatu ketika atap yang terhempas akibat tertiup angin.Mereka pun kerap merasakan panasnya terik matahari yang menyengat kulit.

"Kalau cuaca panas, gerah sekali. kalau hujan bocor semua," tuturnya.
Iyah dan ibunya berharap, kelak suatu hari ada seseorang darmawan yang mau mengulurkan tangan membantu untuk merubah kondisi kehidupan mereka berdua."Kami sangat berharap ada yang mau membantu kami," ucap Iyah. (end)

Akses lampung.tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat lampung.tribunnews.com/m


Anda sedang membaca artikel tentang

Nenek 70 Tahun Tinggal Beratap Triplek dan Kardus

Dengan url

http://lampungposting.blogspot.com/2012/10/nenek-70-tahun-tinggal-beratap-triplek.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Nenek 70 Tahun Tinggal Beratap Triplek dan Kardus

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Nenek 70 Tahun Tinggal Beratap Triplek dan Kardus

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger